Lembaga non-profit, selama ini sangat dekat dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau
Non Government Organization
(NGO). Para pengelola organisasi macam ini memang berbeda dengan
lembaga profit pada umumnya, tetapi dalam hal pemanfaatan media
komunikasi untuk kampanye, rasanya tidak banyak yang berbeda.
Media
sosial, terutama sangat bermanfaat bagi lembaga-lembaga non-profit,
karena selain "murah" – paling tidak biaya produksinya – juga bisa
menjangkau khalayak luas, terutama mereka yang memiliki akses ke
internet.
Di Indonesia, negara yang termasuk pengguna media sosial terbesar di
dunia, bisa memanfaatkan media sosial untuk mencapai tujuan lembaga
non-profit.
Tetapi mengelola media sosial, misalnya akun di
Twitter, Facebook, Google+, atau blog, membutuhkan tim yang bekerja
khusus, karena interaksi merupakan hal terpenting. Menjaga agar
interaksi bisa terus terjadi, membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak
mungkin dilakukan sambil lalu.
Dalam sebuah artikel lama di blog
nonprofitorgs.wordpress.com,
disarankan agar lembaga non-profit memanfaatkan tenaga pengelola media
sosial khusus, apapun sebutannya. Ada yang menyebut dengan istilah
social media manager,
new media manager, atau
digital media manager.
Mengapa perlu mengalokasikan tenaga khusus untuk itu? Mereka kemukakan 5 alasan di baliknya:
1. Kesuksesan pemanfaatan media sosial membutuhkan investasi waktu yang cukup.
Agar
bisa dimanfaatkan dengan baik, lembaga-lembaga non-profit perlu hadir
di beberapa kanal media sosial, dan secara aktif berbagi di kanal-kanal
tersebut. Saat ini banyak sekali kanal yang bisa dimanfaatkan, misalnya
Instagram atau Pinterest untuk berbagi foto/gambar, kemudian ada Youtube
atau Vimeo untuk berbagi video, belum lagi beberapa kanal blog.
Untuk bisa memanfaatkan kanal-kanal tersebut, tentu membutuhkan tim
pembuat konten dan yang akan mengelola penyebaran serta interaksinya di
media sosial. Dan untuk ini, pasti membutuhkan waktu dan tenaga yang
tidak sedikit. Dengan mengalokasikan tenaga khusus untuk mengerjakan hal
ini, sama dengan berinvestasi dengan waktu secara efisien.
2. Seorang pengelola media sosial yang baik perlu memiliki pengalaman berkomunikasi dan penggalangan dana.
Meski lebih banyak bekerja dengan para sukarelawan, tetapi mereka ini
perlu mendapat pengalaman dan keterampilan yang cukup dalam hal
mengelola konten untuk media yang diproduksi lembaga non-profit. Tanpa
kemampuan menulis yang baik, mempublikasikan
newsletter elektronik, atau mengelola kegiatan penggalangan dana secara
online, belum tentu mereka bisa menjalankan strategi lembaga di media sosial.
Tim
yang akan bekerja sebagai pengelola media sosial, harus memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik, ditambah memiliki kemampuan menjadi
penggalang dana yang meyakinkan. Menurut beberapa pengalaman, kemampuan
pengelola kampanye di media sosial bisa menentukan capaian pendanaan
bagi lembaga non-profit. Dengan kemampuan berkomunikasi dan penggalangan
dana yang baik, maka capaian komunikasinya tidak sekedar menyebarkan
isu, tetapi juga bisa menggalang dukungan.
3. Media sosial itu tidak benar-benar gratis.
Meski
untuk memiliki akun di media sosial populer tidak memerlukan dana
khusus, tetapi untuk memproduksi konten yang bagus, tidaklah murah.
Mengalokasikan waktu untuk membuat foto-foto yang menarik, atau poster
digital yang tertata letak dengan baik, membutuhkan keterampilan khusus.
Untuk bisa mengelola media sosial dengan baik, lembaga non-profit
perlu berinvestasi dengan tenaga perancang grafis yang terampil. Kalau
tenaga profesional terlalu mahal, sebenarnya banyak di antara mereka
yang bisa bekerja pro-bono, secara gratis, untuk membantu lembaga
non-profit mengerjakan materi grafis mereka.
Perlu waktu dan upaya
tersendiri untuk bisa merekrut tenaga-tenaga profesional seperti ini,
untuk mengerjakan avatas yang bagus di akun media sosial, atau merancang
tampilan blog yang menarik pengunjung. Tanpa tampilan yang meyakinkan,
bagaimana mungkin bisa menarik pendukung, apalagi untuk bisa menggalang
dana.
Idealnya, seorang pengelola media sosial adalah mereka yang memiliki
kemampuan dasar dalam merancang grafis, dan cukup memahami tentang
teknologi HTML yang biasa digunakan di blog. Dengan kemampuan ini,
mereka dapat berbuat banyak untuk kampanye lembaga non-profit di media
sosial.
4. Daftar pekerjaan yang berlebihan bisa berakibat buruk pada strategi di media sosial.
Seringkali, karena alasan kekurangan personil, lembaga non-profit
terpaksa melipatgandakan jenis pekerjaan yang harus ditanggung oleh
seorang staf-nya. Untuk mengurusi media sosial, dimana informasi bisa
mengalir dalam waktu nyata (
real time), akan sulit bagi seorang staf yang harus bertanggung jawab pula untuk urusan lain.
Daftar
pekerjaan untuk mengelola media sosial itu sendiri sudah cukup panjang
dan membutuhkan waktu, jika ditambah dengan jenis pekerjaan lain, maka
upaya yang dilakukan di media sosial tidak bisa optimal. Interaksi bisa
terbengkalai,
update informasi terkini bisa terlambat, dan produksi konten yang membutuhkan waktu bisa terus-terusan terlambat.
Terkait butir pertama mengenai investasi waktu, dengan tenaga yang
cukup dapat mengefisiensikan pengalokasian waktunya untuk menyelesaikan
berbagai pekerjaan terkait produksi konten di media sosial.
5. Hanya yang mampu mengelola dengan baik akan bertahan.
Anggaran yang terbatas memang menjadi tantangan bagi semua lembaga
non-profit, tetapi yakinlah bahwa media sosial bisa menjadi senjata
ampuh di masa datang. Masa depan komunikasi dan penggalangan lembaga
non-profit bisa disandarkan pada dunia digital, terutama media sosial
dan komunikasi melalui peranti bergerak.
Membangun komunitas
pendukung bagi lembaga non-profit membutuhkan waktu yang panjang.
Mumpung tren peranti bergerak dan media sosial sedang dimulai, maka
berinvestasi harus dilakukan dari sekarang untuk menghadapi era itu.
Tanpa adaptasi yang tepat, dimungkinkan tak akan bisa bertahan ketika
era ini datang.
Bayangkan teknologi digital yang akan mengubah banyak hal, misalnya donasi
online, yang memanfaatkan "uang digital", beberapa layanan sudah mulai bergerak ke arah sana. Generasi
millenials
yang akan menguasai dunia digital di masa depan, akan semakin fasih
menggunakan teknologi digital, dan tanpa kemampuan untuk eksis di sana,
lembaga non-profit akan ketinggalan.
Gambar:
socialmediadudes.com
Artikel : http://salingsilang.com/