English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Senin, 23 Juli 2012

Alasan Mengapa Lembaga Non-Profit Perlu Pengelola Media Sosial




Lembaga non-profit, selama ini sangat dekat dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau Non Government Organization (NGO). Para pengelola organisasi macam ini memang berbeda dengan lembaga profit pada umumnya, tetapi dalam hal pemanfaatan media komunikasi untuk kampanye, rasanya tidak banyak yang berbeda.

Media sosial, terutama sangat bermanfaat bagi lembaga-lembaga non-profit, karena selain "murah" – paling tidak biaya produksinya – juga bisa menjangkau khalayak luas, terutama mereka yang memiliki akses ke internet.

Di Indonesia, negara yang termasuk pengguna media sosial terbesar di dunia, bisa memanfaatkan media sosial untuk mencapai tujuan lembaga non-profit.

Tetapi mengelola media sosial, misalnya akun di Twitter, Facebook, Google+, atau blog, membutuhkan tim yang bekerja khusus, karena interaksi merupakan hal terpenting. Menjaga agar interaksi bisa terus terjadi, membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak mungkin dilakukan sambil lalu.

Dalam sebuah artikel lama di blog nonprofitorgs.wordpress.com, disarankan agar lembaga non-profit memanfaatkan tenaga pengelola media sosial khusus, apapun sebutannya. Ada yang menyebut dengan istilah social media manager, new media manager, atau digital media manager.

Mengapa perlu mengalokasikan tenaga khusus untuk itu? Mereka kemukakan 5 alasan di baliknya:

1. Kesuksesan pemanfaatan media sosial membutuhkan investasi waktu yang cukup.
Agar bisa dimanfaatkan dengan baik, lembaga-lembaga non-profit perlu hadir di beberapa kanal media sosial, dan secara aktif berbagi di kanal-kanal tersebut. Saat ini banyak sekali kanal yang bisa dimanfaatkan, misalnya Instagram atau Pinterest untuk berbagi foto/gambar, kemudian ada Youtube atau Vimeo untuk berbagi video, belum lagi beberapa kanal blog.

Untuk bisa memanfaatkan kanal-kanal tersebut, tentu membutuhkan tim pembuat konten dan yang akan mengelola penyebaran serta interaksinya di media sosial. Dan untuk ini, pasti membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Dengan mengalokasikan tenaga khusus untuk mengerjakan hal ini, sama dengan berinvestasi dengan waktu secara efisien.

2. Seorang pengelola media sosial yang baik perlu memiliki pengalaman berkomunikasi dan penggalangan dana.
Meski lebih banyak bekerja dengan para sukarelawan, tetapi mereka ini perlu mendapat pengalaman dan keterampilan yang cukup dalam hal mengelola konten untuk media yang diproduksi lembaga non-profit. Tanpa kemampuan menulis yang baik, mempublikasikan newsletter elektronik, atau mengelola kegiatan penggalangan dana secara online, belum tentu mereka bisa menjalankan strategi lembaga di media sosial.

Tim yang akan bekerja sebagai pengelola media sosial, harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, ditambah memiliki kemampuan menjadi penggalang dana yang meyakinkan. Menurut beberapa pengalaman, kemampuan pengelola kampanye di media sosial bisa menentukan capaian pendanaan bagi lembaga non-profit. Dengan kemampuan berkomunikasi dan penggalangan dana yang baik, maka capaian komunikasinya tidak sekedar menyebarkan isu, tetapi juga bisa menggalang dukungan.

3. Media sosial itu tidak benar-benar gratis.
Meski untuk memiliki akun di media sosial populer tidak memerlukan dana khusus, tetapi untuk memproduksi konten yang bagus, tidaklah murah. Mengalokasikan waktu untuk membuat foto-foto yang menarik, atau poster digital yang tertata letak dengan baik, membutuhkan keterampilan khusus.

Untuk bisa mengelola media sosial dengan baik, lembaga non-profit perlu berinvestasi dengan tenaga perancang grafis yang terampil. Kalau tenaga profesional terlalu mahal, sebenarnya banyak di antara mereka yang bisa bekerja pro-bono, secara gratis, untuk membantu lembaga non-profit mengerjakan materi grafis mereka.

Perlu waktu dan upaya tersendiri untuk bisa merekrut tenaga-tenaga profesional seperti ini, untuk mengerjakan avatas yang bagus di akun media sosial, atau merancang tampilan blog yang menarik pengunjung. Tanpa tampilan yang meyakinkan, bagaimana mungkin bisa menarik pendukung, apalagi untuk bisa menggalang dana.

Idealnya, seorang pengelola media sosial adalah mereka yang memiliki kemampuan dasar dalam merancang grafis, dan cukup memahami tentang teknologi HTML yang biasa digunakan di blog. Dengan kemampuan ini, mereka dapat berbuat banyak untuk kampanye lembaga non-profit di media sosial.

4. Daftar pekerjaan yang berlebihan bisa berakibat buruk pada strategi di media sosial.
Seringkali, karena alasan kekurangan personil, lembaga non-profit terpaksa melipatgandakan jenis pekerjaan yang harus ditanggung oleh seorang staf-nya. Untuk mengurusi media sosial, dimana informasi bisa mengalir dalam waktu nyata (real time), akan sulit bagi seorang staf yang harus bertanggung jawab pula untuk urusan lain.

Daftar pekerjaan untuk mengelola media sosial itu sendiri sudah cukup panjang dan membutuhkan waktu, jika ditambah dengan jenis pekerjaan lain, maka upaya yang dilakukan di media sosial tidak bisa optimal. Interaksi bisa terbengkalai, update informasi terkini bisa terlambat, dan produksi konten yang membutuhkan waktu bisa terus-terusan terlambat.

Terkait butir pertama mengenai investasi waktu, dengan tenaga yang cukup dapat mengefisiensikan pengalokasian waktunya untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan terkait produksi konten di media sosial.

5. Hanya yang mampu mengelola dengan baik akan bertahan.
Anggaran yang terbatas memang menjadi tantangan bagi semua lembaga non-profit, tetapi yakinlah bahwa media sosial bisa menjadi senjata ampuh di masa datang. Masa depan komunikasi dan penggalangan lembaga non-profit bisa disandarkan pada dunia digital, terutama media sosial dan komunikasi melalui peranti bergerak.

Membangun komunitas pendukung bagi lembaga non-profit membutuhkan waktu yang panjang. Mumpung tren peranti bergerak dan media sosial sedang dimulai, maka berinvestasi harus dilakukan dari sekarang untuk menghadapi era itu. Tanpa adaptasi yang tepat, dimungkinkan tak akan bisa bertahan ketika era ini datang.

Bayangkan teknologi digital yang akan mengubah banyak hal, misalnya donasi online, yang memanfaatkan "uang digital", beberapa layanan sudah mulai bergerak ke arah sana. Generasi millenials yang akan menguasai dunia digital di masa depan, akan semakin fasih menggunakan teknologi digital, dan tanpa kemampuan untuk eksis di sana, lembaga non-profit akan ketinggalan.

Gambar: socialmediadudes.com
Artikel : http://salingsilang.com/

Artikel Terkait