English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Rabu, 04 Juli 2012

MUI: Harta Koruptor Halal Dirampas



Jakarta, Padek—Majelis Ula­ma Indonesia (MUI) menge­luar­kan fatwa menarik. Yakni, meng­halalkan negara merampas har­ta yang diperoleh dari hasil ko­rup­si. Bu­kan hanya itu. Peram­pa­san har­ta tidak menggantikan hu­ku­man penjara dan hukuman ak­hi­rat yang akan diterima korup­tor.

“MUI akan menerbitkan bu­ku saku tentang hukuman ak­hi­rat bagi pelaku korupsi yang akan di­bagikan pada seluruh pe­nye­leng­gara negara,” ujar Sekre­taris Ko­misi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, kemarin (2/7).

Keputusan tersebut berd­a­sarkan diskusi ijtima’ Ula­ma Ko­misi Fatwa MUI ke-IV yang di­gelar di Pondok Pesantren Cipa­sung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Diskusi diikuti sekitar 100 ulama dari berbagai daerah.

Ni’am mengatakan, harta yang bo­leh disita negara adalah yang ter­bukti secara hukum ber­asal dari ha­sil korupsi. Uang atau aset yang di­­rampas selan­jutnya dapat digu­na­kan oleh negara untuk kepen­tingan umat.

Sedangkan, harta yang tidak dapat dibuktikan secara hukum berasal dari hasil korupsi, tidak boleh disita. “Misalnya, harta waris atau pendapatan lain yang bukan dari hasil korupsi, tidak boleh dirampas,” terang Ni’am.

MUI juga menyatakan, harta se­­seorang yang terbukti me­la­kukan tindak pidana korup­si ta­pi tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi, namun ti­dak dapat dijelaskan perole­han­nya dari pendapatan yang ha­lal, dapat dirampas oleh nega­ra. Ni’am menegaskan, fatwa terse­b­ut merupakan duku­ngan para ulama terhadap upaya pem­be­rantasan tindak pidana korup­si. Para ulama sepakat cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara sejahtera tidak akan tercapai bila belum bebas dari korupsi.

Ulama juga berpendapat, ma­raknya tindak pidana korupsi disebabkan lemahnya institusi pe­n­egak hukum dan belum ada­nya efek jera. Dengan fatwa ter­sebut, diharapkan penegak hu­kum tidak ragu menyita kek­a­ya­an para koruptor, agar muncul efek jera. Ni’am mengakui, upa­ya penyitaan harta koruptor ma­sih berpotensi menghadapi rin­ta­ngan, utamanya penolakan dari aktivis HAM dengan alasan me­nimbun harta atau aset keka­yaan adalah hak asasi manusia. “N­a­­mun, landasan argumentasi fat­wa ini sangat kuat, sehingga pe­negak hukum tidak perlu ragu lagi melaksanakannya,” terang­nya.

Selain soal korupsi, MUI juga mengeluarkan fatwa soal pen­c­ucian uang. Pencucian uang ada­­lah jarimah atau tindak pi­da­na. Karena merupakan ben­tuk dari penggelapan atau ghulul.

Dengan status ini, pelaku pen­cucian uang bisa diproses hu­k­uman tindak pidana atau ta’zir. Melalui fatwa ini, MUI juga menegaskan bahwa mene­rima atau memanfaatkan uang ha­sil tindak pidana pencucian uang hukumnya adalah haram. Pe­nerima uang dari hasil tindak pi­dana pencucian uang wajib men­gembalikan uang itu ke ne­gara. Oleh negara digunakan untuk kemaslahatan umat. Pe­ne­rima uang hasil tindak pi­dana pencu­cian uang bisa ter­bebas dari hu­ku­­man asal sudah me­ngem­ba­li­kan ke negara.



sumber http://padangekspres.co.id/

Artikel Terkait